“Cerita fiksi itu cuma 6 kata. Selebihnya imajinasi.” — (Ernest Hemingway)
Kalimat provokatif Hemingway inilah yang disebut-sebut sebagai “cikal bakal” lahirnya fiksi mini di dunia. Fiksi tidak memerlukan kalimat-kalimat panjang. Fiksi sejatinya mampu hadir dalam enam kata sederhana yang membentuk satu ide istimewa. Lupakan entang aksesoris dan ornamen yang tidak berkontribusi memajukan cerita, dan voila!, karya fiksi pun hadir di depan mata.
Di tahun 1920, Hemingway pernah menulis novel lengkap dan hebat hanya dengan enam kata. For sale : baby shoes, never worn. Sangat singkat, padat, dan menyisakan sesuatu “menggantung” yang harus diselesaikan oleh imajinasi pembaca, bukan tuturan penulisnya. Bahkan berabad-abad sebelum Hemingway lahir, Gaius Julius Caesar telah lebih dahulu menulis sebuah fiksi pendek. I came, I saw, I Conquered. Sejarah kemudian menyebarkan tulisan ini lewat budaya lisan ke seluruh dunia dan mengabadikannya sebagai salah satu karya literer terpopuler yang dikenal dengan pameo Vini, Vidi, Vici.
Pertanyaan sederhana yang hadir kemudian adalah : apakah layak tulisan 6 kata ini disebut sebagai sebuah fiksi?
Secara kittah, fiksi tidak pernah dibatasi dalam jumlah kata dan karakter huruf yang menyusunnya. Sepanjang sebuah tulisan merupakan satu karangan utuh yang mampu membawa gagasan yang jelas dan lugas, maka tulisan tersebut layak disebut sebagai fiksi. Pengertian fiksi semacam ini tampaknya bertentangan dengan logika awam yang terlanjur ada di masyarakat. Fiksi seringkali dipahami secara sederhana sebagai karya-karya tradisional berbentuk cerita pendek, bahkan novel.
Pertanyaan selanjutnya adalah : mengapa cerita pendek di media massa dibatasi dengan jumlah karakter tertentu?
Pada dasarnya, kategorisasi yang menyebutkan jumlah kata pada tulisan fiksi merupakan produk dari industri penerbitan. Industri literasi inilah yang membuat “patokan umum” bahwa tulisan dengan panjang 1000-7500 kata disebut sebagai cerita pendek, 7.500-20.000 kata disebut sebagai novelet, sedangkan 50.000-110.000 kata layak disebut sebagai novel.
Kekeliruan ini diperparah dengan sistem pembelajaran di sekolah yang mengajarkan bahwa sebuah cerita disebut lengkap jika ia memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Bahkan cerita disebut utuh bila ia memiliki plot, karakter tokoh, setting, konflik (klimaks), dan antiklimaks yang ditulis dalam kalimat-kalimat panjang. Padahal sebuah tulisan untuk disebut sebagai fiksi tidak memerlukan persyaratan seperti itu. Terlebih jika mengutip rumus menulis fiksi versi Hemingway : selebihnya hanya imajinasi!
Ketika rumus menulis fiksi Hemingway ini dipahami oleh masyarakat, maka tidak mengherankan jika fiksi mini kini tengah ramai ditulis oleh banyak orang di dunia maya. Sejarah penerbitan yang tidak lagi berpihak pada fiksi mahzhab Hemingway pun menemui keruntuhan kedigdayaannya. Fiksi mini bangun dari tidurnya dan mendapat tempat apresiasi yang layak di sebuah fitur microblog bernama Twitter.
Keterbatasan karakter dalam aktivitas blogging inilah yang justru para tweeple yang giat menulis fiksi mini untuk memadatkan sebuah ide cerita. Sebuah ramuan unsur drama yang efektif dan penuh dengan ledakan mengesankan tetap mampu disajikan dalam keterbatasan kuota karakter. Bahkan sebuah akun bernama @fiksimini khusus menayangkan tema fiksi mini yang akan di retweet oleh para follower. Para tweeps ini kemudian ada yang berlomba-lomba mengicaukan karya-karya fiksi mini mereka di twitosphere dalam pesan 140 karakter itu. Pembaca-pembaca fiksi mini di situs microblogging ini menemui keasyikan tersendiri saat menikamati kesingkatan, suspense, dan estetika dalam fiksi mini. Keterbatasan karakter tidak berarti membuat fiksi mini kehilangan makna, bahkan bacaan sekejap itu mampu menimbulkan kesan mendalam dan lama sama seperti karya cerpen dan novel.
Dalam ranah fiksi mini di Indonesia, meledaknya tren penulisan fiksi mini di situs microblogging tidak bisa dilepaskan dari nama Agus Noor, seorang sastrawan dari Yogyakarta. Agus, bersama Eka Kurniawan dan Clara Ng, kini menjadi moderator yang mengatur lalu lintas cerita dari para pengirim.
Di negara-negara lain, fiksi mini dikenal dengan banyak nama. Di perancis, jenis tulisan ini disebut dengan nouvelles. Di Amerika disebut sebagai flash fiction, sudden fiction, atau microfiction. Beberapa yang lain menamainya dengan postcard fiction, bahkan ada yang menyebutnya dengan nanofiction.
Fiksi mini kini muncul sebagai alternatif menulis bagi para penulis pemula. Fiksi mini bukan hanya milik sastrawan, novelis, dan cerpenis. Fiksi mini telah menjadi milik semua orang, tanpa memperhatikan jenis pekerjaan, latar belakang sosial, status, bahkan umur. Fiksi seolah menjadi semakin dekat di hati masyarakat, ia mampu mendongkrak minat baca tulis bangsa ini yang konon jauh dari indeks pengembangan sumber daya manusia negara-negara maju.
Ketika kuantitas fiksi mini kini kian membanjir setiap hari, maka ladang pekerjaan yang perlu segera digarap adalah kualitas tulisan itu sendiri. Dari beribu fiksi mini yang tercipta setiap hari, tentu tidak semua layak disebut sebagai karya fiksi mini yang layak diapresiasi. Beberapa hanya berupa kutipan anekdot, atau bahkan cerita datar kehidupan sehari-hari. Sesederhana apapun sebuah tulisan, ia tetap memerlukan modal. Modal latihan menulis dan rutinitas membaca. Dan saya rasa tidak ada salahnya, jika masing-masing penulis fiksi mini tidak merasa puas dengan hasil karya tulisannya. Jangan pernah merasa matang karena kematangan dekat dengan kebusukan. Teruslah merasa ranum dan belum masak, sehingga proses pembelajaran itu akan terus dilakukan demi sebuah perbaikan. Perbaikan kualitas fiksi mini Indonesia di masa depan. Semoga. (blog.akusukamenulis)
Tinggalkan komentar